Monday, July 9, 2007

Tgk. KUNTORO

Tengku Kuntoro, Ketua Kenduri SAMADIAH Di Aceh...Harap menghadiri acara kenduri tiap hari kerja dengan membawa kelengkapan Perusahaan dan laen laen

Setahun BRR Menikmati Uang Samadiah di Aceh
Oleh
Murizal Hamzah

Banda Aceh - "Sungguh berat amanah kerja di BRR. Saya tak sanggup
mempertanggungjawabkan," ungkap blak-blakan Taufik yang selama perang di Aceh
aktif membantu pengungsi korban kekerasan oleh RI-GAM. BRR yang dimaksud itu
adalah Badan Rekonstruksi dan Rehabilitasi (BRR) Aceh-Nias untuk menangani Aceh
dan Nias pascagempa bumi dan tsunami.

Presiden Susilo mengeluarkan Perpu No 2 Tahun 2005 tentang Badan Rehabilitasi
dan Rekonstruksi (BRR) pada 16 April 2005.

Jawaban spontan itu mengagetkan penulis yang bertanya mengapa dirinya tidak
memilih bekerja di BRR. Dengan kemampuan dan komitmennya, ada kemungkinan besar
dia diterima di BRR dengan gaji puluhan juta per bulan. Penulis terkesima
manakala dia berfatwa siapa pun yang bekerja di LSM, NGO, BRR di Aceh dengan
alasan membantu korban tsunami, justru pada waktu bersamaan mereka sedang
menolong diri sendiri serta menikmati uang samadiah.

"Kita harus hati-hati mengurus uang samadiah yang mengalir dari seluruh pelosok
internasional. Jangan tetangga yang tidak mengalami bencana kemudian datang
membantu keluarga yang ditimpa musibah justru dia yang menikmati fulus daripada
ahli bait yang kehilangan anak, suami atau istri," ingatnya kepada penulis.


Uang di Baskom Beras
Penulis tertunduk. Dalam adat istiadat Aceh, uang samadiah atau takziah identik
dengan uang kematian. Hingga kini di Serambi Mekkah terutama di pedesaan jika
ada warga yang meninggal dunia, ahli keluarga menempatkan beras dalam baskom di
rumah atau halaman. Selanjutnya, warga yang bertakziah atau berdoa
menyelinapkan uang ke baskom. Jadi fungsi beras untuk membenamkan uang logam
atau uang kertas sehingga setiap orang yang mengulurkan bantuan tidak diketahui
oleh orang lain.

Kelaziman di Aceh, masa berkabung selama tujuh hari. Praktis, keluarga duka
tidak bekerja. Artinya kalau seorang petani atau pedagang yang anaknya wafat,
selama tujuh hari tidak bekerja dan tidak ada pemasukan. Selama bersedih,
keluarga korban menerima pentakziah yang menghibur atau menunjukkan kepedulian.
Selama berkabung segala kebutuhan jamuan tamu, keluarga yang meninggal dunia
hingga tetangga yang membantu dirogoh dari dana yang disumbangkan oleh
penziarah. Tentu saja pendoa atau tamu yang menyampaikan duka disajikan segelas
teh dengan sepiring kue untuk menghilangkan dahaga.

"Jika gaji rata-rata di BRR sekitar Rp 5-10 juta per bulan saya mau di sana.
Namun gaji terlalu tinggi padahal pengungsi masih di tenda. Kerja di Aceh ini
ada unsur kerja kemanusiaan, bukan kerja bisnis," ungkap Taufik yang bergaji Rp
3 juta per bulan di LSM lokal yang mendampingi warga dalam pembedayaan
masyarakat di Aceh Besar.


Gaji NGO dan BRR
Tak pelak, usai tsunami 26 Desember 2004 yang meluluhlantakkan 17 kabupaten
dari 21 kabupaten, Aceh tumpah ruah oleh sekitar 500 NGO internasional,
nasional, dan regional. Secara perlahan, satu per satu NGO angkat kaki dari
Aceh dengan alasan sudah melewati masa tanggap darurat atau kehabisan dana
operasional.

Kini tersisa 291 NGO yang terus bekerja hingga tahun 2009 sebagaimana berakhir
masa kerja BRR di Aceh dan Nias. Keberadaan NGO yang ragam kegiatan dan asal
negara dikoordinasi oleh BRR agak tidak tumpah tindih dalam pelaksana.

Berapa sih gaji pekerja di BRR? Berdasarkan usulan BRR ke pemerintah, empat
item untuk Dewan Pengarah digaji Rp 5-10 juta, Badan Pengawas yang terdiri dari
tiga item yakni Rp 4-20 juta. Nah untuk Badan Pelaksana seperti Ketua Bapel BRR
Kuntoro Mangkusubroto digaji Rp 75 juta per bulan (lihat tabel).

Hingga kini, minimal hilir mudik 400 pekerja BRR dengan cabang di beberapa
kabupaten di Aceh. Ghalibnya, bagi hasil "uang samadiah" ini ada beda walaupun
sama-sama berpaspor Indonesia dan menduduki jabatan yang sama karena melihat
pengalaman kerja.

"Mereka digaji besar agar tidak korupsi dan bisa fokus kerja di sini. Tidak
lagi nyambil di tempat lain," ungkap Kuntoro berulang kali menanggapi besarnya
gaji di badan yang menjunjung misi kemanusiaan.

Bagaimana nasib Aceh setelah BRR dan NGO internasional angkat kopor tahun 2009
sambil mengecek hasil pengumpulan uang samadiah setelah empat tahun "membantu"
korban tsunami di Aceh? Mungkin mirip dengan sebuah keluarga yang salah satu
anaknya meninggal dunia.

Selama tujuh hari, mereka dihibur dan menerima sedekah dari teman-teman yang
bertakziah. Setelah sepekan, keluarga itu pun sepi kunjungan. Uang yang
semestinya dari donatur bisa untuk modal kerja ke sawah atau melaut ternyata
sebagian sudah terkuras untuk operasional selama samadiah.

Demikian juga, setelah empat tahun BRR dan NGO hilir mudik di Aceh dengan mobil
double cabin, ID, dan flash disk bergelatungan di leher, korban tsunami kembali
mengurus diri sendiri. LSM lokal dan rakyat Aceh, suka tak suka, harus menjadi
tukang "cuci piring" dari ragam persoalan sosial budaya yang menguat selama
rekonstruksi dan rehabilitasi.

Kecemburuan sosial, solidaritas yang kendur, atau rumah bantuan NGO yang ambruk
serta tata ruang kota yang mungkin tak dilaksanakan hanya tinggal menunggu
waktu. "Masa kerja kemanusiaan sudah berakhir tiga bulan usai tsunami. Sekarang
masa kumpul uang. Di mana ada kematian, di situ ada kehidupan baru bagi orang
lain, " ungkap rekan penulis yang sudah dua kali pindah kerja di NGO
internasional karena mengejar "uang samadiah" yang berbeda antar-NGO. Mari
menikmati uang samadiah di Aceh, ayo siapa yang mau ke Aceh?!

No comments: